NEWSRBACEH | LHOKSEUMAWE – Keputusan pemerintah daerah untuk melarang konser Dewa 19 di Lhokseumawe baru-baru ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan seniman dan pemerhati budaya.
Pelarangan tersebut dinilai sebagai bentuk kemunduran dalam upaya memperkuat kebebasan berekspresi dan ruang sosial masyarakat Aceh pasca-konflik dan bencana.
Seniman asal Aceh yang berdomisili di Lhokseumawe, Agung Oky Perdana, menilai keputusan tersebut tidak hanya membatasi ekspresi seni di ruang publik, tetapi juga menutup ruang sosial yang selama ini menjadi bagian penting dalam proses pemulihan Aceh.
“Saya melihat pelarangan konser tersebut sebagai langkah mundur dari semangat kebebasan berekspresi dan rekonsiliasi budaya yang telah kita bangun bersama selama ini. Pemerintah daerah seharusnya menjadi pihak yang memfasilitasi kegiatan seni, bukan justru membatasi,” ujar Agung.
Lebih lanjut, Agung menilai bahwa kebijakan pelarangan konser di Aceh terasa paradoksal.
” Ketika konser untuk hiburan rakyat, banyak muncul seruan dan pelarangan. Namun saat masa kampanye politik, suara-suara penentangan itu justru bungkam. Fenomena ini menunjukkan bahwa konser musik menjadi ‘haram’ bagi rakyat, tapi mendadak ‘halal’ jika digelar untuk kepentingan penguasa,” tambahnya.
Agung juga mengingatkan bahwa sejak tsunami 2004, musik telah memainkan peran penting dalam proses pemulihan sosial dan emosional masyarakat Aceh. Di tengah duka dan kehancuran, musik hadir sebagai ruang penghiburan, alat pemersatu, sekaligus simbol harapan.
Lagu-lagu yang dinyanyikan di tenda pengungsian, panggung kecil di gampong, hingga festival budaya untuk mengenang para korban, menjadi bukti bahwa musik pernah membantu Aceh bangkit dari keterpurukan.
“Jika persoalan hari ini hanya terpaku pada anggapan bahwa musik tidak sesuai dengan syariat Islam, maka pandangan itu sangat subjektif. Saya sebagai musisi melihat musik dari sisi lain bagaimana musik bisa menjadi obat bagi luka-luka batin keluarga korban pelanggaran HAM. Lihat saja lagu ‘Aneuk Yatim’ karya Rafly Kande, yang menyuarakan kepedihan dan harapan masyarakat Aceh,” tutur Agung.
Ia menegaskan, musik bukanlah ancaman bagi nilai-nilai keislaman di Aceh, melainkan bagian dari perjalanan budaya dan kemanusiaan masyarakatnya.
“Banyak hal kelam telah berlalu di Aceh, dan saya percaya musik telah membantu mengobati luka itu serta memberi harapan baru di tanah Serambi Mekkah yang kita cintai ini,” pungkasnya.







