Search

12 Desember 2025

Revisi UUPA dan Masa Depan Otonomi Aceh: Menjawab Pertanyaan “20 Tahun Sudah Bikin Apa?”

admin

Sofyan, S.Sos, Pemerhati Kebijakan Publik

NEWSRBACEH I LHOKSEUMAWE – Pernyataan Anggota Komisi III DPR RI, Benny K. Harman, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang mempertanyakan “20 tahun sudah bikin apa?” memicu kembali diskusi publik mengenai efektivitas Otonomi Khusus (Otsus) Aceh dan urgensi revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Namun menurut para pengamat, pertanyaan itu tidak bisa dijawab secara sederhana tanpa melihat faktor struktural dan desain kebijakan nasional yang turut membentuk situasi Aceh saat ini.

Sofyan, S.Sos, Pemerhati Kebijakan Publik, menilai evaluasi Otsus Aceh harus dilakukan melalui policy diagnosis, bukan sekadar saling menyalahkan. Hal itu disampaikan kepada newsrbaceh.com Sabtu 15 November 2025.

Ia menegaskan bahwa penggunaan dana sekitar Rp100 triliun selama dua dekade harus dianalisis secara objektif dan terukur. “Evaluasi tidak boleh didasarkan pada stigma bahwa Aceh tidak melakukan apa-apa,” ujarnya.

Sofyan menguraikan setidaknya tiga faktor struktural yang menghambat efektivitas Otsus selama ini yaitu Desain fiskal yang belum mendorong kemandirian ekonomi, Dana Otsus lebih berfungsi sebagai dana pemulihan pascakonflik, bukan instrumen transformasi ekonomi.

Selanjutnya Kewenangan yang tidak sinkron dengan berbagai UU sectoral, Banyak Qanun Aceh dibatalkan, sehingga kepastian hukum bagi investor menjadi lemah dan Kapasitas kelembagaan yang terbatas Warisan konflik panjang menyebabkan reformasi birokrasi berjalan lambat.

“Masalah Aceh bukan semata manajemen lokal, tetapi juga persoalan struktural yang membutuhkan desain kebijakan nasional yang lebih tepat,” tegasnya.

Evaluasi Harus Melibatkan Pemerintah Pusat

Sofyan menilai tidak adil jika Aceh menjadi satu-satunya pihak yang dianggap gagal dalam pelaksanaan Otsus. Ia menyebutkan bahwa evaluasi harus mencakup konsistensi pemerintah pusat menjalankan MoU Helsinki, keterlambatan dan tumpang tindih regulasi dan ketiadaan indikator evaluasi yang disepakati bersama antara Aceh dan Jakarta.

“Tanpa baseline bersama, evaluasi apa pun tidak memiliki dasar ilmiah,” kata Sofyan.

MoU Helsinki Tetap Relevan

Menanggapi pernyataan yang menyebut agar Aceh tidak selalu merujuk pada MoU Helsinki, Sofyan menyatakan bahwa pandangan itu keliru. “Helsinki bukan slogan politik. Itu fondasi lahirnya UUPA dan kerangka hubungan Aceh–Jakarta. Mengabaikannya sama dengan menghilangkan dasar hukum otonomi Aceh,” jelasnya.

Untuk memperkuat arah Otsus ke depan, Sofyan mengajukan empat rekomendasi strategis:

  1. Reformulasi skema Dana Otsus menuju incentive-driven allocation yang menumbuhkan kemandirian ekonomi.
  2. Harmonisasi UUPA dengan UU sektoral melalui pembentukan lex specialis harmonization unit agar kewenangan Aceh tidak terus tergerus.
  3. Pembentukan Aceh Policy Delivery Unit di bawah Presiden untuk memastikan efektivitas program dan bebas distorsi politik.
  4. Penyusunan indikator keberhasilan bersama Aceh–Pusat yang menjadi dasar evaluasi objektif setiap lima tahun.

“Setiap kritik, termasuk dari tokoh nasional, harus menjadi energi untuk memperbaiki kebijakan, bukan menambah stigma terhadap Aceh,” tutupnya.