Search

13 Desember 2025

Disaat Situs Bersejarah Rusak, Aceh Utara Malah ‘Pelit’ Dana untuk Cetak Ahli Pelestarinya

admin

Warisan Dunia, Anggaran Kecil: Rp 5 Juta Jadi Penghalang Ahli Cagar Budaya Aceh Utara

NEWSRBACEH I ACEH UTARA – Sebuah kegagalan anggaran yang terlihat sepele, hanya senilai Rp 5.000.000, nyaris membuat Kabupaten Aceh Utara jantung peradaban Islam tertua di Asia Tenggara tersingkir dari peta kompetensi nasional pelestarian cagar budaya. Peristiwa ini membuka luka lama tentang komitmen yang setengah hati terhadap warisan sejarah yang justru menjadi identitas utama daerah ini.

Pada 21-24 November 2025, Kementerian Kebudayaan RI menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi Ahli Cagar Budaya di Jakarta, sebuah agenda krusial untuk membekali sumber daya manusia (SDM) dengan kapabilitas standar nasional dalam melindungi dan mengelola warisan sejarah.

 

 

 

 

Namun, Aceh Utara, pemegang rekor situs Cagar Budaya Samudra Pasai terbanyak di dunia, nyaris absen. Penyebabnya: ketiadaan anggaran untuk biaya perjalanan delegasinya.

Kesenjangan antara Fasilitas dan Tanggung Jawab Daerah

Piet Rusdi, S.Sos., Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 1 Aceh, mengonfirmasi bahwa biaya sertifikasi, akomodasi, dan konsumsi telah ditanggung penuh oleh pemerintah pusat. “Daerah hanya perlu menanggung biaya perjalanan pergi-pulang dan uang harian peserta,” jelasnya.

Fakta ini justru mengeraskan tudingan bahwa persoalan ini bukanlah soal kemampuan finansial, melainkan skala prioritas. Dengan APBD Aceh Utara yang mencapai triliunan rupiah, kegagalan mengalokasikan dana lima juta rupiah untuk sebuah agenda strategis nasional merupakan sebuah kelalaian administratif dan politik yang patut dipertanyakan.

Keputusan (atau ketiadaan keputusan) pemerintah daerah ini memantik kekecewaan mendalam. Saiful Azhar, seorang pemerhati sejarah dan budaya, menyoroti kontradiksi yang tajam.

“Ini adalah bentuk kelalaian serius. Bagaimana mungkin daerah yang memegang identitas sejarah sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara, dengan ratusan situs cagar budaya, tidak mampu menyediakan dana lima juta untuk penguatan SDM? Ini sama sekali tidak selaras dengan slogan ‘Aceh Utara Bangkit’,” ujar Saiful dengan nada kecewa.

Ironi itu semakin dalam ketika sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen pada sejarah dan budaya CISAH akhirnya turun tangan. Mereka menanggung biaya perjalanan sebesar Rp 5.000.000 tersebut secara swadaya, menyelamatkan satu kursi untuk utusan Aceh Utara, Zulfikar, yang akhirnya berangkat dengan Surat Tugas dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Insiden ini bukanlah sekadar soal satu kegiatan yang nyaris terlewat. Ia adalah gejala dari sebuah penyakit kronis: lemahnya komitmen dan perencanaan strategis dalam anggaran kebudayaan.

Ketika sebuah daerah menggantungkan kebanggaan nasional dan internasionalnya pada tinggalan sejarah, namun abai dalam investasi SDM untuk merawatnya, maka slogan pelestarian hanyalah retorika kosong. Ancaman nyata kerusakan, alih fungsi lahan, dan kelalaian pengelolaan situs di Bumi Pasai tidak akan pernah bisa dihadapi hanya dengan mengandalkan swadaya komunitas.

Kejadian ini harus menjadi alarm keras bagi Pemerintah Daerah Aceh Utara. Perencanaan anggaran untuk sektor kebudayaan tidak boleh lagi dipandang sebagai biaya tambahan, melainkan sebagai investasi fundamental untuk mempertahankan jati diri dan masa depan daerah.

Jika satu orang ahli bersertifikat nasional saja hampir tidak terkirim karena alasan anggaran yang minim, lalu bagaimana dengan nasib ratusan situs cagar budaya yang tersebar dan membutuhkan penanganan serius? Masa depan warisan dunia di Aceh Utara tidak boleh lagi digadaikan hanya karena ketiadaan political will dan alokasi anggaran yang tidak proporsional.