NEWSRBACEH I LHOKSEUMAWE — Di saat banjir dan longsor memutus jalan, mengisolasi desa, bahkan memisahkan keluarga, semangat para wartawan Aceh justru menemukan bentuk paling jujurnya: bertahan dan melangkah.
Bencana hidrometeorologi yang melanda sejumlah wilayah Aceh tidak menyurutkan tekad para jurnalis untuk menjaga marwah profesi. Dengan perjuangan yang tak ringan, puluhan wartawan tetap hadir mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Angkatan XX yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh melalui PWI Lhokseumawe, di Hotel Grand Sydney, Lhokseumawe, Jumat–Sabtu (12–13/12/2025).
Sebanyak 24 wartawan dari berbagai kabupaten/kota di Aceh mengikuti UKW ini. Mereka terbagi dalam empat kelas: dua kelas jenjang muda, satu jenjang madya, dan satu jenjang utama. Namun lebih dari sekadar angka, UKW kali ini menyimpan kisah keberanian, pengorbanan, dan idealisme yang diuji langsung oleh alam.
Ketua PWI Lhokseumawe, Sayuti Ahmad, menegaskan bahwa UKW Angkatan XX adalah cermin keteguhan wartawan Aceh.
“Peserta datang dari daerah dengan medan yang tidak mudah. Ini membuktikan bahwa UKW bukan sekadar ujian, melainkan perjuangan menjaga kehormatan dan profesionalisme wartawan,” ujarnya.
Menembus Lumpur dan Jembatan Putus
Perjalanan menuju Lhokseumawe menjadi kisah heroik tersendiri. Sejumlah peserta harus berjalan kaki hingga dua jam melewati jalan berlumpur dari kawasan Aceh Tengah–Bener Meriah. Bahkan, ada yang menyeberang menggunakan rakit di bawah Jembatan Kuta Blang, Bireuen, demi tiba tepat waktu.
Koordinator Penguji UKW, Muhammad Syahrir, menyebut UKW kali ini berlangsung serentak di empat provinsi lain di Indonesia sebuah penegasan bahwa PWI tetap konsisten menjaga standar dan integritas profesi jurnalistik.
“PWI bukan sekadar tempat berkumpul. Profesionalisme adalah fondasi kami. Wartawan harus diuji kompetensinya. Setelah itu, barulah PWI menjadi rumah bersama,” tegasnya.
Wartawan dan Tanggung Jawab Publik
Asisten III Pemerintah Kota Lhokseumawe, Said Alam Zulfikar, menilai UKW memiliki peran strategis di tengah derasnya arus informasi digital.
“Informasi harus cepat, tepat, dan akurat. Wartawan juga harus memberi pencerahan. UKW menjadi instrumen penting untuk memastikan itu,” katanya.
Dukungan juga datang dari dunia industri. Dedi Ikhsan, Koordinator Corporate Communication PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), menyebut UKW sebagai ruang refleksi integritas wartawan.
“UKW penting untuk melahirkan wartawan yang profesional dan bertanggung jawab. Kami berharap kegiatan ini terus berkelanjutan,” ujarnya.
Muhammadsyah: Bismillah dari Desa Terisolir
Di balik ruang ujian ber-AC, tersimpan kisah Muhammadsyah (31), wartawan Lintas Gayo.com. Ia meninggalkan istri dan dua anaknya di wilayah yang masih terisolir pascabanjir dan longsor.
“Istri dan dua anak kutinggalkan. Beras sulit, BBM langka. Hanya doa keluarga yang membuat saya tegar,” tuturnya lirih.
Berbekal Bismillah, Muhammadsyah berjalan kaki seharian menembus bukit longsor dan jembatan putus. Sepeda motornya terpaksa ditinggal di Buntul. Dari Desa Seni Antara, ia ditolong orang baik yang mengantarnya hingga Gunung Salak, Aceh Utara.
Ia sempat menumpang motor penjual BBM dadakan, lalu mobil double cabin*penuh jeriken kosong. Bau Pertamax bercampur solar tak ia hiraukan. Baginya, satu hal lebih penting: sampai di UKW.
“Musibah tidak boleh jadi alasan untuk menyerah. Ujian ini harus dilawan,” katanya tegas, meski kebun kopi dan cabainya belum tahu akan dijual ke mana akibat bencana.
Raman Toa: Setengah Abad dan Tak Gengsi Meminjam
Dilansir dari rakyataceh.net Kisah lain datang dari Abdul Raman, atau akrab disapa Raman Toa. Usianya setengah abad, namun tekadnya muda. Ia ingin menapak ke jenjang wartawan utama.
Berangkat dari Pegasing, Takengon, Raman Toa menembus tujuh titik longsor, berjalan kaki dari Buntul hingga Desa Seni Antara. Celana dan sepatunya penuh lumpur saat tiba di Hotel Grand Sydney.
Tak gengsi, ia meminjam uang kepada anaknya sendiri. “Nak, pake dulu uangmu 400. Besok, insyaallah ayah ganti,” ucapnya dengan logat Gayo.
Anaknya telah sarjana berkat profesi yang sama wartawan. Bagi Raman Toa, UKW bukan sekadar ujian, melainkan penegasan perjalanan hidup.
Menembus Banjir, Menjaga Idealime
UKW Angkatan XX di Lhokseumawe bukan hanya agenda organisasi. Ia adalah simbol keteguhan: bahwa di tengah banjir, longsor, keterbatasan logistik, dan rasa cemas pada keluarga, wartawan Aceh tetap berdiri tegak menjaga kualitas informasi.
Di medan bencana, mereka membuktikan satu hal jurnalisme bukan hanya pekerjaan, melainkan pengabdian.
Semoga langkah Aman Ayasa, Raman Toa, dan seluruh peserta UKW menjadi cahaya—bahwa menyampaikan kebenaran juga adalah bentuk ibadah.







