• Topik Utama

    Copyright © Berita Aceh Terkini
    Best Viral Premium Blogger Templates
    NEWS RBACEH :
    Raja Baginda...

    Iklan

    Kasus Penembakan Hasfiani: Antara Sanksi, Kekhawatiran, dan Harapan akan Keadilan

    Admin
    3/19/25, 12:51 WIB Last Updated 2025-03-19T05:51:31Z

    Dr, Jummaidi Saputra, S.H., M.H., CPM

    Newsrbaceh.com - Baru-baru ini kita dihebohkan dengan sebuah kejadian penembakan yang membuat korban Almarhum Hasfiani alias Imam yang merupakan Agen atau sales mobil meninggal dunia. Motif sementara ingin merampok atau menggelapkan atau menguasai kendaraan yang bukan haknya. 


    Berdasarkan informasi atau pemberitaan dari media yang berkembang saat ini bahwa penembakan itu dilakukan oleh oknum anggota TNI AL.


    Dalam hal ini saya ingin memberikan padangan hukum terkait penerapan hukum terhadap oknum anggota TNI- AL yang melakukan penembakan tersebut. Yang pertama bahwa pelaku yang kejahatan dalam perkara ini subjeknya adalah anggota TNI. 


    Berdasarkan Pasal 9 poin 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer disebutkan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang: Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: a. Prajurit; b. yang berdasarkan undang-undang dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang; d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pangadilan dalam lingkungan peradilan militer”.


    Nah berdasarkan penjelasan diatas, bahwa oknum anggota TNI-AL yang melakukan penembakan terhadap saudara Hasfiani alias Imam yang mengakibatkan kematian tersebut akan diadili oleh Pengadilan Militer khususnya tingkat pertama itu berada di Banda Aceh yaitu Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh. Dengan mekanisme yang di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.


    Sekilas, asumsi awal bahwa kejahatan dilakukan oleh oknum anggota TNI-AL perampokan dan atau disertai dengan pembunuhan. Dalam hal ini saya berpandangan bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI-AL termasuk kedalam kejahatan yang diatur dalam Pasal 339 KUHP dan/atau Pasal 340 KUHP. Pada Pasal 339 KUHP menyebutkan 


    “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. 


    Sedangkan dalam Pasal 340 KUHP merupakan pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Pasal 340 ini layak untuk untuk diterapkan, bahwa salah satu unsur-unsur pembunuhan berencana yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP adalah perencanaan (selain unsur-unsur yang lain yang telah terpenuhi). 


    Dari penjelasan yang kita baca di media bahwa dari mulai komunikasi antara pelaku dan korban terkait jual beli mobil sampai dengan test drive yang dilakukan itu sudah ada rencana atau berencana apalagi pada pelaku terdapat senjata api dan digunakan untuk membunuh korban. 


    Hukuman yang diberikan terhadap anggota TNI-AL tersebut tercantum pada KUHP, penjelasan di atas menggambarkan bahwa seorang oknum anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana umum selama tidak diatur dalam dalam KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) maka tunduk kepada KUHP. 


    Itu sesuai dengan penjelasan dari Pasal 2 KUHPM yaitu ” Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang".


    Untuk tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh oknum TNI-AL tersebut tidak diatur dalam tidak tercantum dalam KUHPM sehingga coba saya menjelaskan diawal tadi pasal yang sesuai diterapkan Pasal 339 KUHP dan Pasal 340 KUHP dengan proses persidangannya dalam di Pengadilan Militer. Dengan penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim nya merupakan militer.


    Adanya kekhawatiran masyarakat Dalam masyarakat timbul kekhawatiran terkait independensi Pengadilan militer dalam memeriksa dan mengadili oknum anggota TNI yang melakukan tindak pidana khususnya dalam perkara pembunuhan yang dilakukan oknum anggota TNI- AL terhadap Hasfiani alias Imam yang merupakan warga sipil apakah perkara ini dapat dilaksanakan secara independen sesuai dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan. 


    Perbincangan terkait dengan independen telah sering kita lihat dari banyaknya kritikan dan tulisan yang membahas hal tersebut. Saat ini Pasal 9 poin 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjadi landasan hukum bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana tunduk kepada Peradilan Militer.


    Sebagai tinjauan yuridis, terkait kewenangan mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam Undang-Undang tentang TNI (Pasal 62 ayat (2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang), isi pasal tersebut sebenarnya telah memberikan formulasi dan harapan terhadap gambaran peradilan yang Independen dan adil. 


    Tanpa menimbulkan rasa kekhawatiran dalam masyarakat khususnya korban dari kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI. Pada Pasal Pasal 74 Undang-Undang TNI yang disebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan”. Jadi sampai sekarang masih menggantung tidak memiliki makna selama Undang-Undang Pengadilan Militer belum dilakukan revisi atau dirubah.


    Jauh sebelum Undang-Undang tentang TNI terkait tindak pidana umum yang dilakukan oleh TNI telah diatur dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri yang menyebutkan 


    “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.


    Dalam hukum dikenal adanya asas Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori‘ yang memiliki arti peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Bila dilihat dari segi tahun terbitnya kedua peraturan ini TAP MPR Tahun 2000 dan Undang-Undang TNI Tahun 2004 maka kedua peraturan ini menyampingkan aturan yang lebih lama yaitu Undang-Undang Peradilan Militer.


    Sampai saat ini bahwa tidak ada tanda-tanda akan dilakukan revisi Undang-Undang Peradilan Militer ditengah gencar-gencarnya pembahasan tentang Undang-Undang tentang TNI. 


    Mungkin besar harapan masyarakat dari kekhawatirannya terhadap proses persidangan terhadap oknum TNI yang melakukan tindak pidana umum di adili kedalam peradilan umum. asas equality before the law yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan “setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum”. 


    Maknanya, semua warga negara yang terlibat masalah hukum mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum termasuk anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum khususnya pembunuhan. 


    Membuka luka lama


    Lebih kurang 19 tahun sudah perdamaian Aceh sehingga memberikan harapan baru bagi masyarakat aceh, cukup lama Aceh dalam konflik dan cukup banyak pula korban konflik baik yang diculik, dianiaya dan ditembak. 


    Serta tidak sedikit anak kehilangan ayahnya. Yang menjadi dendam terhadap anak korban dan keluarga korban yang tidak diterima ayah atau keluarganya dibunuh. Kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI-AL terhadap Hasfiani alias Imam telah membuka luka lama. 


    Aceh memiliki sensitivitas tersendiri terkait kekerasan atau pembunuhan apalagi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Ini menjadi trauma tersendiri ini, dan dianggap telah mengangkangi perdamaian yang telah disepakati antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 


    Mungkin beberapa hari ini kita bisa melihat komentar-komentar masyarakat (netizen) pada media-media online terkait dengan kejadian ini mengaitkan denga konflik Aceh.


    Khusus Aceh, Pemerintah (Pemda, TNI dan Polri) harus dapat menjaga situasi dan kondisi saat ini. Jangan sampai nantinya kejadian seperti ini akan digiring oleh oknum-oknum tertentu kepada hal-hal negatif yang mengakibatkan rusaknya perdamaian Aceh yang sudah berjalan ini. 


    Bahwa Aceh sebagai daerah konflik harus menjadi catatan sehingga setiap anggota TNI yang ditugaskan di Aceh harus memiliki komitmen menjaga keamanan dengan tidak melakukan hal-hal yang mengarah kepada lahirnya konflik baru.


    Harapannya


    Harapannya secara umum proses peradilan pada perkara ini berjalan terbuka dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. 


    Bahwa pelaku merupakan seorang anggota TNI yang seharusnya menjaga dan melindungi masyarakat yang sesuai dengan semboyan yang sering digaung-gaungkan “TNI bersama rakyat”, Maka harus menjadi pertimbangan Hakim untuk menjatuhkan hukuman berat terhadap pelaku dan dilakukan dibulan puasa terhadap seorang ayah yang memiliki anak yang masih kecil yang anak tersebut memiliki harapan yang terhadap ayahnya dalam bulan puasa menjelang lebaran Idul Fitri ini.


    Harapan terhadap institusi TNI untuk dapat membentuk suasana yang harmonis dengan cara memberikan santunan atau kompensasi serta yang lebih penting lagi adalah memberikan seperti beasiswa sampai kuliah atau kompesasi-kompesasi lain yang tidak memutuskan harapan anak tersebut dikarenakan tulang punggung mereka sudah tidak ada.


    Khusus terkait ini seandainya dapat terselesaikan makan akan mengembalikan citra TNI di dalam masyarakat.


    Harapan selanjutnya, agar institusi TNI lebih mengoptimalkan dan memperkuat upaya-upaya pembinaan terhadap anggotanya seperti jam komandan, apel rutin dan penggunaan senjata api diluar jam dinas. 


    Pada dasarnya institusi TNI merupakan harapan bagi masyarakat Aceh untuk dapat mengayomi dan melindungi dalam menjaga perdamaian Aceh dalam dalam kerangka Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia.


    Penulis: Dr, Jummaidi Saputra, S.H., M.H., CPM

    Akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Nasional

    +